INFO DPR - Pemerintah dan DPR dipastikan telah sepakat untuk mengalihkan hukum peninggalan kolonial KUHP menjadi hukum nasional. Dengan semangat ini, kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmon J Mahesa, mengatakan bahwa pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) akan diselesaikan secepatnya lantaran tidak ada proses yang terlalu berlebihan karena semua terukur.
Menurut Desmon di Gedung DPR RI, Kamis, 29 Agustus 2019, salah satu Tim Perumus Rancangan KUHP dari pemerintah, Prof. Muladi juga mempunyai semangat yang sama. Pernyataan Muladi juga sangat jelas menjelaskan bahwa dalam pembahasan RKUHP ada tujuh poin yang belum disepakati.
“Tujuh poin itu harus dikompromikan dengan catatan-catatan. Nah, tadi malam rapat saya tidak ikut, dari tujuh poin diselesaikan tiga,” kata Desmon.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dari target waktu, pembahasan RUU KUHP diharapkan selesai pada 24 September 2019. Dengan spare waktu itu, Desmon yakin dan optimistis jika selama sebulan proses pembahasan RKUHP akan tuntas sebelum masa kerja DPR periode 2014-2019 berakhir.
“Dari proses ini, dari waktu yang hampir sebulan rasanya terkejar karena pemerintah sudah menjelaskan bahwa kini pemerintah sangat detail dengan hal-hal yang hari ini dipertanyakan oleh anggota dewan dan yang dipertanyakan masyarakat sipil,” katanya.
Apalagi dalam pembahasan antara pemerintah dengan DPR telah disepakati masalah kodefikasi. Yakni bagian-bagian dari serpihan yang diatur juga dalam undang-undang sekarang.
“Saat ini sudah matang tinggal mempertemukan pemikiran masyarakat sipil yang menjadi aspirasi DPR dan juga diaspirasi oleh pemerintah. Titik temu ini lah yang membuat beda walaupun masyarakat sipil tidak puas. Ini yang harus kita cermati perkembangannya,” ucap Desmon.
Kendati tidak dapat menyebutkan secara rinci ketujuh poin krusial tersebut, Desmon mengatakan di antaranya menyangkut masalah kesusilaan dan pasal penghinaan terhadap presiden juga masih dibahas.
“Pasal penghinaan presiden ada. Kita tidak bisa meninggalkan sesuatu dalam alam demokrasi seolah-olah presiden itu menjadi dewa yang harus dilindungi oleh undang-undang. Hak berbicara bagi masyarakat sipil harus dihargai. Tinggal bahasanya agar tidak menterjemahkan di luar konten, harus sensitif betul dan hati-hati,” katanya.
Sementara Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily, mengatakan terkait pembahasan undang-undang KUHP juga akan melibatkan Komisi VIII DPR RI. Pembahasan dijadwalkan pekan depan untuk menyinkronkan beberapa jenis pemidanan yang nanti akan dijadikan sebagai bahan acuan sebagai langkah selanjutnya terutama aspek pencegahan dan aspek rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual.
“Pembahasan dengan Komisi III akan dibahas secara terbuka. Karena bersamaan dengan RUU KUHP yang didalamnya ada pembahasan tentang pidana kekerasan seksual seperti pemerkosaan, pencabulan, dan pemaksaan aborsi dan lain-lain,” ucap Ace.
Dia mengatakan masih ada pro dan kontra terkait pembahasan itu. Beberapa anggota parlemen berpandangan agar ketentuan itu masuk dalam undang-undang induk namun ada pandangan beberapa anggota karena ini undang-undang sifatnya lex specialis menyangkut perlindungan anak, perempuan dan kelompok disabilitas sebaiknya dibuat tersendiri dengan hukum acara tersendiri.
“Ini masih dalam pembahasan terus menerus kami bahas secara serius di Komisi VIII,” ujarnya. (*)