INFO DPR - Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, berjanji akan mendorong Komisi VII dan XI DPR RI untuk menindaklanjuti keluhan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia atau APNI terkait larangan ekspor ore nikel yang dilakukan pemerintah. Oleh karena itu, dia meminta para pengusaha APNI mempersiapkan data-data yang diperlukan agar DPR bisa menindaklanjuti aduan yang disampaikan. Menurut Bambang pengusaha nasional harus tetap mendapat dukungan dalam mengelola sumber daya alam.
“Rabu pekan depan kita undang lagi. Apalagi, seperti yang disampaikan para pengusaha bahwa ada kehilangan pendapatan negara yang cukup besar akibat kebijakan yang tumpang tindih,” ujar Bambang didampingi Anggota Komisi XI DPR RI Maruarar Sirait dan Mukhamad Misbakhun ketika menerima perwakilan APNI di Ruang Kerja di Gedung DPR RI, Kamis, 29 Agustus 2019..
Puluhan pengusaha APNI yang diwakili Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey mengadu kepada Ketua DPR RI atas kebijakan pemerintah. Menurut Meidy, para pengusaha APNI resah terkait rencana kebijakan pemerintah pusat yang akan menghentikan kegiatan ekspor ore bijih nikel. Selama ini aktivitas para pengusaha tambang nikel lokal mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dengan berpatokan pada regulasi tersebut, Meidy menyebutkan bahwa para anggotanya yang merupakan pengusaha pertambangan nikel tengah membangun pabrik pemurnian atau smelter.
“Saat ini, anggota APNI tengah gencar-gencarnya membangun smelter untuk mematuhi regulasi dari pemerintah pusat itu,” kata Meidy didampingi Wakil Ketua APNI Antonius Setyadi, Kepala Biro Hukum APNI Firdaus dan sejumlah pengusaha lainnya.
Meidy menjelaskan bahwa para pelaku tambang nikel tidak keberatan soal kebijakan hilirisasi dan pembangunan smelter tersebut. Namun, mereka menilai perlu ada pembenahan tata niaga komoditas ini terlebih dulu sebelum buru-buru dilarang ekspor oleh pemerintah.
“Dan, dampak yang terjadi jika eksport ore ditutup sebelum 2022 adalah terjadi monopoli harga bijih nikel domestik. Potensi kehilangan penerimaan negara dari ekspor ore pun sebesar USD 191.010.382 dari penerimaan PNBP,” ujar Meidy kepada media usai bertemu Ketua DPR RI.
Oleh karena itu, dia meminta agar ada penyempurnaan tata niaga pertambangan bijih nikel yang berpihak pada pengusaha pribumi nasional atas azas berkeadilan.
“Harus ada keberpihakan dari pemerintah kepada pengusaha lokal. Ini bukan sekedar B to B,” ucapnya.
Oleh karena itu, APNI meminta dukungan parlemen agar ekspor tetap dijalankan sesuai dengan PP No. 1/2017 yaitu sampai 12 Januari 2022 untuk membantu pengusaha nasional melanjutkan pembangunan smelternya. Dan, jika ada yang progress pembangunan tidak sesuai dengan Kurva S, pemerintah dapat melakukan pengawasan ketat, asistensi dan pemberian punishment sesuai tahapan capaiannya.
“Kita minta pemerintah melindungi pengusaha nasional, penambang bijih nikel pribumi nasional dengan harga beli dari pemilik smelter lokal yang wajar sesuai dengan hpm/harga pasar yang ditentukan pemerintah,” ujar Meidy.
Selama ini ada beberapa ketidakadilan yang dirasakan pelaku tambang lokal. Dalam faktanya kadar nikel yang mau diterima oleh pabrik domestik dibatasi minimal 1,8 persen. Apabila jumlahnya di bawah kadar itu maka harganya akan terus berkurang.
“Itulah salah satu penyebab rendahnya harga bijih nikel yang dibeli, karena ada mekanisme penentuan kadar nikel,” ucapnya.
Berdasarkan rekomendasi pemerintah dalam Surat Edaran Kementerian ESDM No 05.E/30/DJB/2016 tentang surveyor dalam rangka pelaksanaan kegiatan penjualan atau pengapalan mineral dan batu bara ada lima perusahaan yang berhak menentukan kadar nikel sesuai dengan surat edaran menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service dan Anindya (Citra Buana). Hasil penilaian ini akan menjadi basis bagi pembayaran royalti pelaku usaha kepada negara.
Namun, pembeli dalam hal ini perusahaan smelter justru Intertek, perusahaan dari luar yang ditunjuk pemerintah untuk melakukan pengujian kadar nikel.
Kemudian, ketidakadilan yang dialami adalah mekanisme saat ini di mana pelaku usaha tambang dikuasai empat perusahaan smelter raksasa yang melakukan kertel terhadap harga bijih nikel memanfaatkan penggunaan surveyor yang berbeda dari yang sudah ditunjuk oleh pemerintah.
“Jadi, ada empat perusahaan besar, saya tidak mau sebut namanya tapi mereka yang kuasai harga, mengkertel,” kata Meidy.
Sebagaimana diketahui, ada perusahaan yang memiliki smelter dengan kapasitas besar di Indonesia adalah PT Virtue Dragon Nickel Industry, PT Sulawesi Mining Investment, PT Huadi Nickel Alloy, dan Harita Nickel. (*)