Tempo.Co

Unsur Pimpinan MPR Harus Memiliki Keterwakilan Perempuan
Rabu, 02 Oktober 2019
Anggota DPR RI My Esti Wijayati berharap Ratu Hemas diusulkan menjadi pimpinan MPR dari Kelompok DPD.

INFO DPR — Anggota DPR RI 2019-2024 My Esti Wijayati berharap dalam susunan kepemimpinan MPR RI Masa Bakti 2019-2024 diisi oleh keterwakilan perempuan. Nama yang tepat saat ini untuk duduk di MPR dari keterwakilan perempuan menurutnya Anggota DPD dari Yogyakarta GKR, Ratu Hemas. Nama Ratu Hemas dinilai tepat menjadi wakil daerah yang dapat memperjuangkan keterwakilan perempuan di pimpinan MPR. Dengan kehadiran Ratu Hemas di pimpinan MPR dipastikan akan melengkapi susunan pimpinan DPR yang telah diisi oleh keterwakilan perempuan, yakni Puan Maharani.

“Alhamdullilah di DPR RI dari lima, ketuanya langsung perempuan. MPR ini harapannya juga harus ada perempuan. Jujur dari DPD RI, Gusti Ratu bisa menjadi pimpinan MPR yang mewakili dari DPD RI. Dan saya juga berharap ini semoga ada dukungan yang kuat kepada beliau meskipun dari DPD saya tidak bisa memilih karena saya dari DPR RI,” kata Esty usai mengkuti Rapat Paripurna II MPR RI di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Rabu, 2 Oktober 2019.

Menurut Esti, keterwakilan perempuan dari DPD sangat penting untuk menunjukkan wajah perempuan Indonesia. Dia menyontohkan bagaimana Ketua DPR RI Puan Maharani telah mendobrak dunia yang selama ini dipimpin laki-laki. Dia berharap MPR juga mempunyai gebrakan dari perempuan.

“Masa dari 10 tidak ada perempuannya? Masa di DPD tidak ada perempuannya? Kalau ada perempuannya syukur alhamdulillah,” kata My Esti.

Sementara itu di tempat terpisah Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, menilai tidak ada hambatan bagi Senator asal DI Yogyakarta GKR Ratu Hemas untuk mencalonkan diri sebagai pimpinan MPR. Seluruh anggota MPR harus juga mempertimbangkan untuk mengakomodasi keterwakilan sosok perempuan dalam komposisi kepemimpinan MPR. 

“Menurut saya, anggota DPD tidak bisa dipakai untuk menghalangi Ibu Hemas menjadi calon pimpinan MPR mewakili unsur DPD,” kata Margarito, menegaskan.

Mengenai pelanggaran etika yang dilakukan sebelumnya, seharusnya tidak menjadi halangan sebab ketentuan itu hanya mengikat pada anggota DPD saat dia menjabat sebelumnya. Pemilihan umum yang telah dilakukan sama nilai dengan menghentikan seluruh hukum yang terjadi di masa lalu.

“Dan oleh karena itu, kalau pun ada pelangaran etika, maka sudah berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa keanggotaan dia di masa lalu itu,” ujar Margarito. (*)