INFO DPR — Kenaikan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang disahkan dan ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan mendapat penolakan di masyarakat. Anggota Komisi IX DPR RI, Darul Siska, mengatakan kenaikan itu tidak bisa dibendung. Namun, dia berharap kenaikan iuran bagi peserta JKN paralel dengan peningkatan pelayanan yang diberikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Kenaikan iuran bagi peserta JKN harus berdasarkan suatu kajian dari BPJS. Dikatakan Darul di ruang kerjanya di Gedung DPR RI, Kamis, 31 Oktober 2019, selama ini BPJS masih memiliki banyak permasalahan. Ada tiga hal yang selalu menjadi persoalan utama. Pertama, soal kepatuhan orang membayar, kedua mengenai ketersediaan layanan, dan ketiga adalah kejujuran pelayanan kesehatan itu sendiri.
Padahal, jika ketiga hal itu dilakukan secara baik, persoalan defisit anggaran di BPJS dapat dihindari. Akan tetapi, hingga hari ini belum pernah dilakukan penelitian, apakah semua ini sudah berjalan sesuai sasaran atau belum. Mulai dari sistem penagihan, sistem audit–misalkan tagihan rumah sakit kepada BPJS yang harus diverifikasi–dan sistem verifikasi.
“Kita tidak tahu apa betul tagihan dari rumah sakit sesuai dengan pelayanan yang dia berikan apa enggak? Masih banyak yang perlu diselesaikan,” ujar politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Darul berharap, kenaikan tarif bagi peserta JKN yang telah ditetapkan presiden paralel dengan pelayanan yang diberikan BPJS. Sebab, dengan menaikkan iuran saja tidak akan menyelesaikan masalah BPJS.
“Menurut saya bisa berjalan paralel, keputusan presiden dijalankan sambil ini (pelayanan BPJS) diperbaiki,” kata Anggota Dewan dari Dapil Sumbar I ini.
Darul mengakui jika memperbaiki persoalan defisit keuangan BPJS suatu pekerjaan besar. Sebab, tidak serta merta menaikkan iuran wajib peserta JKN bisa menyelesaikan semua masalah di BPJS.
Sebagaimana diketahui, kini iuran wajib setiap peserta JKN di Kelas III menjadi Rp 42 ribu setiap bulan, Kelas II Rp 110 ribu setiap bulan dan Kelas I Rp 160 ribu per bulan. (*)