Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengundang para tokoh agama seperti Pemuda Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Penggurus Besar NU, Gerakan Pemuda Ashor, Konferensi Wali Gereja Indonesia, Mejelis Tinggi Agama Khonghucu, Persatuan Gereja-Gereja Indonesia, Parasada Hindu Dharma Indonesia, Perwakilan Umat Budha Indonesia untuk meminta masukan dalam acara Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Rabu, 1 Juni 2016. Rapat dipimpin langsung Ketua Pansus RUU Terorisme M. Syafi'i dari Gerindra.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada 25 Januari menyampaikan tujuh poin Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Anti-terorisme yang akan direvisi.
Pertama soal penambahan jangka waktu penahanan dan izin penangkapan. Kedua, penuntutan dan pengusutan terorisme tak hanya kepada orang, tetapi juga kepada korporasi.
Ketiga, perluasan tindak pidana terorisme, yaitu kegiatan menyiapkan, permufakatan jahat, percobaan, perbantuan tindak pidana terorisme. Keempat, pencabutan paspor bagi warga negara yang ikut pelatihan militer ke luar negeri.
Kelima, pengawasan terhadap pelaku teror selama enam bulan. Keenam, program deradikalisasi untuk memberantas terorisme harus digenjot pemerintah. Ketujuh, perlunya rehabilitasi yang holistik dan komprehensif bagi narapidana teroris.
Terkait ketujuh alasan ini, Anggota Pansus RUU Anti-terorisme ingin mendapatkan masukan dari para pemuka agama yang diundang hari ini.
Anggota Pansus Habib Aboe Bakar Alhabsyi meminta masukan dari para pemuka agama apakah setuju jika penyadapan bisa dilakukan tanpa persetujuan pengadilan. Selain itu, ia juga meminta masukan soal draf UU anti-terorisme yang isinya menyebutkan soal masa penahanan dari tahap penyidikan sampai perpanjangan penahanan oleh hakim bisa sampai 300 hari. “Setuju tidak. Jangan sampai nanti setelah menjadi Undang-Undang ada kasus soal ini dan diributkan lagi. Jadi kami perlu mendapat masukan,” kata Habib.
Anggota Pansus lainnya, Bobby Adhityorizaldi, meminta masukan soal keberadaan militer dalam penanggulangan terorisme. “Sebab dalam pemikiran kami militer itu harus dimasukkan,” ujarnya. Selain itu, ia juga meminta masukan soal perlunya perluasan penegakan hukum yang diterapkan, apakah bisa dilakukan di luar yurisdiksi Indonesia seperti yang dilakukan beberapa negara lain. Juga soal pencabutan paspor bagi warga negara yang ikut pelatihan militer ke luar negeri dan soal pengawasan terhadap pelaku teror.
Saiful Bahri Ruray, Anggota Pansus RUU Anti-terorisme mengusulkan untuk mengubah judul draf RUU dan meminta masukan dari para pemuka agama.
Anggota Pansus Bambang Wuryanto meminta masukan soal keberadaan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) apakah dirasakan sudah efektif atau belum. “Jika tidak ke depan kita perlu memikirkan model kelembagaan seperti apa yang efektif untuk melakukan pencegahan terhadap terorisme ini. Model sinergitas seperti apa yang efektif dalam menanggulangi teroris di Indonesia dari pemuka agama. Juga konsep deradikalisasi apa yang efektif dalam memberantas terorisme,” ucapnya.
Anggota Pansus Darizal Basir menegaskan RUU ini harus terbebas dari adanya isu atau prediksi akan mendiskreditkan satu kelompok. Menurut dia, RUU ini akan berlaku untuk semua. Karena itu, dia meminta masukan dari para pemuka agama soal perlunya mendefenisikan kembali soal terorisme yang sifatnya menyeluruh.
Anggota Pansus Supiadin Aries Saputra bahkan mengatakan selama ini UU Anti-terorisme bersifat reaktif, hanya berlaku ketika ada terorisme dan belum mampu mengantisipasi bahkan mencegah. Ke depan, menurut dia, perlu ada upaya pencegahan. “Undang-Undang Anti-terorisme ini bukan satu-satunya perangkat untuk menanggulangi terorisme. Dia hanya salah satu. Karena itu, Undang-Undang ini nantinya harus ditindaklanjuti oleh aturan lain di bawahnya yang memberi peluang bagi organisasi masyarakat dan agama untuk terlibat melalui deteksi dini atau early warning system yang bisa diberlakukan,” katanya.
Anggota Pansus Hanafi Rais mengatakan munculnya gagasan radikalisme itu sebagai respon kegagalan negara/pemerintah dalam melindungi segenap bangsa Indonesia. “Jadi kita harus mengubah cara pandang kita bahwa terorisme tidak bisa kita baca bersumber dari masyarakat tapi karena negara itu sendiri punya kegagalan dalam tugas konstitusionalnya dalam melindungi masyarakat,” ucapnya.
Menanggapi Anggota Pansus, MUI menekankan perlunya kekompakan dalam penanganan kasus teroris ini, terutama para penegak hukumnya.MUI menyarankan agar semua perangkat penegak hukum betul-betul senyawa atau sejalan dalam menegakkan kedaulatan. MUI juga tidak setuju adanya perluasan definisi terorisme terkait kemanan negara. MUI beranggapan perluasan yang tidak terkait hukum pidana akan menimbulkan dampak yang luas terhadap kekuasaan tertentu atau politik. Menurut MUI, definisi cukup pada proses-proses pidana yang akuntabel. MUI juga setujju jika penyadapan perlu izin dari lembaga peradilan.
Pemuda Muhammadiyah mengusulkan agar Densus 88 dan BNPT seharusnya satu paket dalam menjalankan tugasnya. Muhammadiyah juga setuju terhadap lembaga khusus pengawasan terhadap pemberantasan terorisme tapi tidak perlu dilakukan seleksi seperti lembag-lembaga lainnya. Pemerintah dan DPR cukup menunjuk ormas bersama-sama konsorsium untuk melakukan pengawasan. Ini lebih independen dan keterwakilan lebih baik. Hal serupa dismapaikan Konferensi Wali Gereja Indonesia.
Perwakilan Umat Budha Indonesia mengusulkan agar teroris itu tidak dikaitkan dengan agama karena hanya akan membuat teroris itu menjadi meluas. PGI mengusulkan perlunya dipikirkan kembali soal lembaga pengawasan. (*)