Tempo.Co

DPR Menilai BBM Masih Perlu Disubsidi
Rabu, 08 Juni 2016
BBM untuk kendaraan pribadi saja masih perlu disubsidi, apalagi untuk transportasi publik dan logistik.

INFO DPR - PT Pertamina (Persero) diminta mempertanggungjawabkan kebijakannya menjual bahan bakar minyak subsidi dan non-subsidi, yang lebih mahal dari harga normal. “Pertamina harus menjelaskan kepada publik ke mana hasil penjualan BBM yang mahal itu. Jika tidak bisa mempertanggungjawabkan, berarti Pertamina merampok hak rakyat,” tutur anggota Komisi VI DPR, Bambang Haryo Soekartono, Selasa, 7 Juni 2016.

Bambang mengungkapkan Pertamina membanderol solar subsidi Rp 5.150 per liter. Padahal solar non-subsidi (industri) dijual Rp 4.500 per liter oleh PT Patra Niaga, anak perusahaan Pertamina. Dijelaskan Bambang, harga RON 90 (setara Pertalite), misalnya, di Malaysia hanya 1,2 ringgit atau Rp 3.892 per liter, sedangkan harga Pertalite di Indonesia Rp 7.100 per liter. Demikian juga dengan Pertamax Plus (RON 95). Pertamina menjualnya seharga Rp 8.450 per liter, sedangkan Petronas Malaysia menjualnya 1,7 ringgit atau Rp 5.514 per liter.

Menurut Bambang, Pertamina mengambil keuntungan terlalu besar dari selisih harga jual tersebut. Apalagi dari selisih harga BBM subsidi dan non-subsidi. Dengan asumsi subsidi solar Rp 1.000 per liter dan harga solar industri Rp 4.500 per liter, terdapat selisih Rp 1.650 per liter yang masuk Pertamina. Apabila konsumsi normal solar 30 ribu kiloliter per hari, berarti uang subsidi solar yang disedot Pertamina mencapai Rp 49,5 miliar per hari atau Rp 17,8 triliun per tahun.

Wakil rakyat dari daerah pemilihan Jawa Timur itu prihatin. Sebab, dalam kondisi seperti ini, pemerintah justru berencana memangkas, bahkan menghapus subsidi solar. Dalam rancangan Perubahan APBN 2016 kepada DPR, pemerintah memangkas subsidi BBM dan LPG sebesar Rp 23,1 triliun menjadi Rp 40,6 triliun. Rencana ini disebut sejalan dengan upaya penghematan melalui kebijakan subsidi tetap solar Rp 350 per liter mulai 1 Juli 2016.

“BBM untuk kendaraan pribadi saja masih perlu disubsidi, apalagi untuk transportasi publik dan logistik. Kalau BBM murah, tarif logistik pasti murah, biaya produksi industri berkurang, dan harga barang turun sehingga daya beli rakyat meningkat. Dampaknya, ekonomi akan tumbuh lebih tinggi,” katanya. (*)