Meski pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol) sudah masuk Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), namun masih ada perbedaan yang ekstrem terkait judul RUU. Di satu sisi, DPR tetap menghendaki pakai larangan, sementara pemerintah menolak judul larangan.
Hal itu ditegaskan anggota Pansus RUU Minol Ahmad Mustakim dalam percakapannya dengan pers Jumat, 17 Juni 2016 di Jakarta. Alasan DPR, dengan memakai judul larangan karena mengacu UU tentang Tata Cara Penyusunan UU bahwa hal itu dimungkinkan.
Selain itu sudah ada padanan, yaitu UU No.5/2003 yaitu UU Larangan Persaingan Usaha. “Sikap pemerintah tetap keukeuh, tidak mau judul tersebut, sebab asumsinya dengan larangan berarti telah meniadakan semuanya," ujarnya.
Sikap DPR khususnya FPP sebagai pengusul RUU ini, kata Mustakim, meski judulnya larangan, tetapi tetap ada pengecualiannya. Di antaranya terkait pariwisata, adat istiadat juga upacara keagamaan tertentu.
Sejauh ini, lanjut dia, dari perdebatan panjang akhirnya ada kesepakatan bahwa pembahasan RUU mengesampingkan judul, dan masuk ke pembahasan batang tubuh. Dari 164 DIM, telah dibahas 35 DIM dan normalnya pembahasan RUU dua masa sidang. Tapi jika dilihat waktu efektif tinggal dua sebelum libur lebaran maka kemungkinan bisa tiga masa siding.
Melihat kondisi ini, Mustakim berharap semua harus punya kesadaran bersama untuk segera menyelesaikan RUU ini, apalagi masuk dalam daftar RUU Prioritas. Ditegaskan, terjadi pelecehan seksual akhir-akhir ini selalu dilakukan habis mabuk. Apakah sumbernya karena minuman beralkohol (minol) atau non alcohol, itu berawal dari minuman keras.
“Kita harus menggugah semua pemangku kepentingan bahwa sudah harus melakukan pelarangan pada titik tertentu untuk bisa mereduksi resiko-resiko yang lebih lanjut bagi generasi muda. Masa depan Indonesia sangat tergantung seberapa jauh kita membuat UU dimana generasi muda bisa berdiri tegak di luar ketergantungan terhadap miras dan minol. Karena itu sudah waktunya Indonesia menerapkan pelarangan meski ada ruang pengecualian,” katanya. (*)